Wali Songo ( 9 Wali )
1. Sunan
Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
Syekh Maulana Malik Ibrahim –
Dalam sejarah perwalian wali songo, Maulana Malik Ibrahim merupakan
wali yang tertua dari Sembilan wali atau wali songo / wali sanga / wali 9.
Maulana Malik Ibrahim, atau
Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada
paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi,
mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi
Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai
Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara
dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari
Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama
Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana
Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi
Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa,
sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi
putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal
dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup
menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah
ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai
beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah
yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah
daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah
berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok
dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan
diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia
pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar
kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok
tanam. Ia merangkul masyarakat bawah kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka
sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar
yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun
dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik
Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
Profile Sunan Ampel – biografi sunan ampel –
Sunan Ampel adalah Anak Maulana malik Ibrahim.yang tertua. Menurut Babad Tanah
Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan namaRaden
Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri,
diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau
Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo
sekarang).
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke
pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440,
sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di
Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit
menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting
salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati
di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri.
Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat.
Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak
didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa
itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V
raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang
dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren.
Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15,
pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah
Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan
Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke
berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab
Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana
yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan
istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon).
Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri,
tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada
tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
3. Sunan Drajad atau Raden Qasim
Sunan Drajat Nama kecilnya adalah Raden Qosim. Ia
anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang.
Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir
pada tahun 1470 M. Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk
berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog
–pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan
Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri
Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat
mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal.
Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang
dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk,
di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada
yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang”. Sunan Drajat juga dikenal sebagai
seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak
memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Kisah Perjalanan Hidup Sunan Drajat
Alkisah, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.
Alkisah, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan
menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan
pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim
selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut
dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil
mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak,
Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di
sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan
Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah
asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden
Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang
Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi
pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil,
lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah
menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar
satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir
pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat
oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai
pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa
Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan.
Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah
akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan
menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi.
Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya
membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat
menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan
dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat
tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran
Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur,
hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan
barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah
menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan
kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan
kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling
menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana
catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan
yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah
bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan
ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung
di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan
Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir,
ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang
tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken
marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring
sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan
tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian
kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia
kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan
terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan
setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil
berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
”Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,” katanya
dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan
mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali
yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di
kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam
suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus,
sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan
lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang kemudian menjadi sumur abadi.
Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan.
Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini
Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi.
Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri
Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim
ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah
itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini,
memang ada tradisi ‘’saling memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon diceritakan,
setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa
dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang
menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks
perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan
Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi
nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa
dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran
Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah
yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di
Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa
meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah
berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat:
”Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga….” Sewaktu diperintah Sunan
Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana
keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih
mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.
Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan
Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Tak jauh dari makam beliau telah
dibangun Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di jaman Wali Sanga.
Khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.
4. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
Sunan Bonang Biografi- Menurut
catatan sejarah, Sunan Bonang di perkirakan lahir tahun 1465 M dari seorang
perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan
Bonang adalah Anak Sunan Ampel yang berarti juga cucu Maulana Malik
Ibrahim. Pada masa kecilnya, Sunan Bonang memiliki nama Raden Makdum
Ibrahim.
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di
Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai
pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas
masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Ia kemudian menetap di Bonang – desa kecil di Lasem,
Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun
tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu
Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak,
dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang
tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang
sangat sulit.
Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di
Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia
meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung,
setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran
Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf
ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan
arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai
mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat
‘cinta’(‘isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut
Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan
kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara
populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan
Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa
suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah “Suluk Wijil” yang tampak
dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya
banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan
yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah
Fansuri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu
kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi
kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang.
Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada
kehidupan transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu
karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang
adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah
lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa
ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan ‘isbah
(peneguhan)
5. Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq
Profile biodata Sunan kudus. Pada usia anak-anak (masa kecil) Sunan kudus bernama Jaffar Shadiq. Ia adalah putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan
Kali Jogo Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti
Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan
Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih
halus. Itu sebabnya para wali yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang
mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat
Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu
terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan
pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud
kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke
masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang
diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang
mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan
Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai
sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk
menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan.
Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk
mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita
1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus
mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan
Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan
Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata,
bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
Kisah wali songo Sunan Giri – Ia memiliki nama
kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan
(kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah
nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga
ibunya, seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden
Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung
Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi
gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga
isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya,
Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke
Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah
perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah
“giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat
pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Raja Majapahit -
konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting
di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan
Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak.
Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari
pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi
keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang
penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang
kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai
penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura,
Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan,
Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari
Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang
luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih.
Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan,
Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian
pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan
ajaran Islam.
7. Sunan Muria atau Raden Umar Said
Walisongo, Sunan Muria, profile sunan muria, sejarah sunan muria, kisah sunan muria – Ia putra Dewi Saroh – adik kandung Sunan Giri .sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijogo. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan
Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di
daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan
bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai
penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal
sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya
masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak
yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar
Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan
Kinanti.
8.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Kisah Sunan Gunung Jati – Dalam Naskah
Klayan hal. xxii Babad Cirebon, dikisahkan sunan gunung jati, bahwa ia
pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, dan bertemu
Rosulluloh Muhamad SAW, bertemu Nabi Khidir serta menerima wasiat Nabi Sulaeman
yang semuanya itu tidak masuk akal. Namun dari kisah-kisah sunan gunung
jati tersebut hanyalah sebagai isyarat kekaguman masyarakat saat itu pada
sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai
Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya
adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani
Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia
14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara.
Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama
lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan
Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya
“wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan
pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir
Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur
Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun
infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung
Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum,
menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi
cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari
jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada
Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120
tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung
Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
9. Sunan Kalijogo atau Raden Said
Sunan Kalijaga, merupakan “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga
memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban
atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama
Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal
dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon
dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya
dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga
kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli
dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai ” penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih
dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit
(berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga
Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram
dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid
Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang
merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor
sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung
“sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga
memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat
bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus
didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga
berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama
hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam
mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara
suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan,
grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat
kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai
karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar
adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah
Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang
Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi
pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam
bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan,
bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke
pemerintahan.
Comments
Post a Comment